Jumat, 02 Mei 2014

Perlindungan Konsumen


Tugas Aspek Hukum Dalam Ekonomi
Perlindungan Konsumen






DISUSUN OLEH :
NAMA                 : ARIFAH DHAUFANI
KELAS                : 2EB24
NPM                    : 21212130






Daftar Isi
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………      i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………….     ii
         PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pengertian Perlindungan Konsumen .................………… …………….…………………      1
Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen …………………………………………..........     1
Hak dan Kewajiban Konsumen …….……………………………………………………..      2
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ………………………………………….…………….      3
Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha ……………………………………………..      4
Klausula baku dalam perjanjian ……………………………………………………………    7
Tanggung jawab pelaku usaha ………………………………………………………….....     8
Sanksi ……………………………………………………………………………………..    13
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………..    iii




                  



  






 i
Kata Pengantar

Segala puji bagi ALLAH SWT kami panjatkan karena atas berkat rahmatNYA kami bisa menyelesaikan karya tulis ini dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Aspek Hukum Dalam Ekonomi dengan judul “PERLINDUNGAN KONSUMEN”, karena terbatasnya ilmu yang dimiliki oleh kami maka makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan.
Tidak lupa kami sampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah  membantu dalam penyusunan makalah ini. Semoga bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada kami mendapat balasan yang setimpal dari ALLAH SWT. Amin
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat khususnya bagi kami dan  bagi pembaca.






       Hormat Kami

Penulis









 ii
Perlindungan Konsumen

1.      Pengertian Perlindungan Konsumen

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali (Jawa: kulakan), maka dia disebut pengecer atau distributor.

Perlindungan konsumen adalah salah satu upaya pemerintah untuk melindungi kepastian keamanan dan kenyamanan konsumen yang berbentuk payung hukum yang didalamnya memuat hak dan kewajiban seorang konsumen agar masyarakat menjadi konsumen cerdas paham perlindungan konsumen.

2.      Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Tujuan
Untuk meningkatkan kemampuan, kemandirian dan kesadaran konsumen untuk melindungi dirinya. Meninggikan kedudukan konsumen dan melindunginya dengan cara menjauhkannya dari hal-hal negatif dari penggunaan suatu barang dan jasa.
Menjadikannya konsumen cerdas paham perlindungan konsumen dimana konsumen mampu secara mandiri melakukan pemberdayaan, memilih dan menentukan apa yang mereka butuhkan menurut haknya. Membuat sistem perlindungan bagi konsumen dengan adanya unsur hukum yang tepat dan jelas serta transparan atau terbuka akan akses untuk memperoleh informasi.
Asas
Terdapat 5 azas perlindungan konsumen yang bertujuan agar menjadikan konsumen cerdas paham perlindungan konsumen yang telah dituangkan didalam Pasal 2 Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen yaitu:

1
Asas Manfaat yang berarti UU harus memberi manfaat sebesar mungkin bagi kedua pihak yang terlibat saling paham dan mengerti dalam jual beli yaitu konsumen dan penjual. Pada asas ini, diharapkan tidak ada kesenjangan dan tidak ada yang merasa lebih rendah atau lebih tinggi dibanding yang lainnya. Keduanya berhak untuk mendapatkan haknya.
Asas Keadilan yang disebutkan pada pasal 4 hingga 7. Didalamnya telah diatur mengenai hak dan kewajiban kedua pihak. Dengan mempelajari ini, diharapkan keduanya paham akan hak dan kewajiban masing-masing.
Asas Keseimbangan yang dalam penerapannya diharapkan seimbang dalam memperoleh perlindungan baik dari pihak konsumen, penjual bahkan pemerintah.
Asas keamanan dan Keselamatan yang diharapkan dalam penerapannya, UU dapat menjamin keselamatan dan kenyamanan konsumen cerdas paham perlindungan konsumen mulai dari pemakaian hingga pemanfaatan barang dan jasa.
Asas Kepastian Hukum agar kedua pihak yang melakukan kegiatan jual beli mematuhi peraturan sekaligus mendapatkan keadilan dalam upaya perlindungan konsumen yang telah dijamin oleh negara.

3.      Hak dan Kewajiban Konsumen

Hak Konsumen
a)      Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
b)      Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c)      Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
d)     Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
e)      Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan konsumen, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f)       Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.



2
g)      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
h)      Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian jika barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian dan tidak sebagaimana mestinya.

Kewajiban Konsumen
a)      Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
b)      Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
c)      Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d)     Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak dan Kewajiban Produse

4.      Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha (Produsen)

Hak Pelaku Uasaha (Produsen)
a)      Hak menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
b)      Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
c)      Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
d)     Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
Kewajiban Produsen
a)      Beritikad baik dalam kegiatan usahanya.
b)      Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan, penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan

3
c)      Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
d)     Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu dan/atau jasa yang berlaku.
e)      Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
f)       Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
g)      Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian bila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

5.      Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha

Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1.      larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2.      larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3.      larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
.           Mari kita bahas satu per satu. Yang pertama ialah larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi. Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
1.      tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2.      tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3.      tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;



4
4.      tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
5.      tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
6.      tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosipenjualan barang dan/atau jasa tersebut;
7.      tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang palingbaik atas barang tertentu;
8.      tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
9.      tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
10.  tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesiasesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2)  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3)  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

5
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
Bekas: sudah pernah dipakai.
Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi)

Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:
(4)  Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Bila kita perhatikan secara seksama, ketentuan ayat (4) tidak mengatur pelanggaran ayat (3). Ternyata untuk pelanggaran ayat (3), diatur melalui peraturan yang lebih spesifik. Yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Kesehatan. Untuk kedua bidang ini berlaku adagium lex specialis derogat lege generalis. Artinya peraturan yang khusus mengalahkan peraturan yang umum.






6
6.      Klausula Baku Dalam Perjanjian

Klausula baku adalah setiap syarat dan ketentuan yang telah disiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pengusaha yang dituangkan dalam suatu dokumen atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Memang klausula baku potensial merugikan konsumen karena tak memiliki pilihan selain menerimanya. Namun di sisi lain, harus diakui pula klausula baku sangat membantu kelancaran perdagangan. Sulit membayangkan jika dalam banyak perjanjian atau kontrak sehari-hari kita selalu harus mernegosiasikan syarat dan ketentuannya.
Di dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian, antara lain :
o   Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha ;
o   Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen ;
o   Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan atau jasa yang dibeli konsumen ;
o   Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen secara angsurang ;
o   Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen ;
o   Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa ;
o   Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya ;
o   Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.



7
7.      Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Hukum tentang tanggung jawab produk ini termasuk dalam perbuatan melanggar hukum tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict liability), tanpa melihat apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam kondisi demikian terlihat bahwa adagium caveat emptor (konsumen bertanggung jawab telah ditinggalkan) dan kini berlaku caveat venditor (pelaku usaha bertanggung jawab).
Istilah Product Liability (Tanggung Jawab Produk) baru dikenal sekitar 60 tahun yang lalu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat, sehubungan dengan dimulainya produksi bahan makanan secara besar-besaran. Baik kalangan produsen (Producer and manufacture) maupun penjual (seller, distributor) mengasuransikan barang-barangnya terhadap kemungkinan adanya resiko akibat produk-produk yang cacat atau menimbulkan kerugian tehadap konsumen.
Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produser (Product Liability) produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible seperti listrik, produk alami (mis. Makanan binatang piaraan dengan jenis binatang lain), tulisan (mis. Peta penerbangan yang diproduksi secara masal), atau perlengkapan tetap pada rumah real estate (mis. Rumah).[1] Selanjutnya, termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.
Tanggung jawab produk (product liability), menurut Hursh bahwa product liability is the liability of manufacturer, processor or non-manufacturing seller for injury to the person or property of a buyer third party, caused by product which has been sold. Perkins Coie juga menyatakan Product Liability: The liability of the manufacturer or others in the chain of distribution of a product to a person injured by the use of product.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut.


8
Bahkan dilihat dari konvensi tentang product liability di atas, berlakunya konvensi tersebut diperluas terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha, bengkel dan pergudangan. Demikian juga dengan para agen dan pekerja dari badan-badan usaha di atas. Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian maupun harta benda.
Seperti di kemukakan di atas, bahwa jika dilihat secara sepintas, kelihatan bahwa apa yang di atur dengan ketentuan product liability telah diatur pula dalam KUHPerdata. Hanya saja jika kita menggunakan KUHPerdata, maka bila seorang konsumen menderita kerugian ingin menuntut pihak produsen (termasuk pedagang, grosir, distributor dan agen), maka pihak korban tersebut akan menghadapi beberapa kendala yang akan menyulitkannya untuk memperoleh ganti rugi.
Kesulitan tersebut adalah pihak konsumen harus membuktikan ada unsur kesalahan yang dilakukan oleh pihak produsen. Jika konsumen tidak berhasil membuktikan kesalahan produsen, maka gugatan konsumen akan gagal. Oleh karena berbagai kesulitan yang dihadapi oleh konsumen tersebut, maka sejak tahun 1960-an, di Amerika Serikat di berlakukan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability principle).
Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan di pihak produsen.
Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strtict liability) diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah:[3]
o   Di antara korban/konsumen di satu pihak dan produsen di lain pihak, beban kerugian (resiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi/mengeluarkan barang-barang cacat/berbahaya tersebut di pasaran;
o   Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian, dia harus bertanggung jawab;



9
o   Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak-pun produsen yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang ini.

Dengan demikian apapun alasannya, pelaku usaha harus bertanggung jawab apabila ternyata produk yang dihasilkannya cacat atau berbahaya. Informasi akurat dan lengkap merupakan hak konsumen. Apabila kewajiban ini tidak dipenuhi, maka sudah semestinya pelaku usaha dimintai pertanggungjwaban.

UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
BAB VI
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA

Pasal 19
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen



10
Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut

Pasal 21
(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri
(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing

Pasal 22
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian

Pasal 23
Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen

Pasal 24
a.       Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila
pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut
b.      pelaku usaha lain, didalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi




11
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut

Pasal 25
(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut
a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan
b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.

Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dan tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila
a.       barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan
b.      cacat barang timbul pada kemudian hari
c.       cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d.      kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen
e.       lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan

Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
12
8.      Sanksi

Sejak berlakunya Undang-undang Perlindungan Konsumen tanggal 20 April 1999, masalah pelanggaran atas hak-hak konsumen masih terus saja terjadi. Kasus konsumen yang banyak terjadi pada hakekatnya merupakan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen dan kurangnya kesadaran pelaku usaha seperti tercantum dalam pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999. Tidak dipenuhinya hak konsumen oleh pelaku usaha dalam transaksi pesanan merupakan sebuah tindakan yang melanggar Pasal 16 UU No. 8 Tahun 1999. Secara sederhana, pelanggaran terhadap pasal 16 UU No. 8 Tahun 1999 ini berawal dari perikatan yang timbul dari adanya kesepakatan antara pelaku usaha sebagai pihak penawar barang/jasa dan konsumen sebagai pihak pemesan barang/jasa. Dari tahap ini sebenarnya tidak timbul masalah yang berarti. Namun jika diteliti pengaturan sanksi, terhadap pelaku yang melanggar Pasal 16 UU No. 8 Tahun 1999 dikenai sanksi pidana berupa pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak 2 miliar rupiah (pasal 62 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999). Pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran perjanjian pesanan barang/jasa menimbulkan beberapa permasalahan. Mengingat lahirnya perikatan/perjanjian pesanan itu berasal dari adanya kesepakatan para pihak maka sudah seharusnya penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi dilakukan dalam lingkup Hukum Perdata.
Hanya dengan adanya pengaturan pasal 62 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 ini, konsumen bisa saja menuntut si pelaku usaha karena dinilai telah melakukan tindak pidana perlindungan konsumen. Dari latar belakang di atas dapat di ajukan beberapa isu hukum, yaitu:
1. Apakah hakekat pelanggaran Pasal 16 UU No. 8 Tahun 1999?
2. Apakah sanksi pidana dapat langsung dikenakan pada pelaku usaha yang melanggar Pasal 16 jo. Pasal 62 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999?
3. Bentuk sanksi apakah yang seharusnya dikenakan pada pelanggar pasal 16 UU No. 8 tahun 1999?




13
Hakekat Pelanggaran Pasal 16 UU No. 8 Tahun 1999
Lahirnya hubungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU No. 8 Tahun 1999 sebenarnya berawal dari kehendak konsumen memesan makanan yang diinginkannya. Kehendak untuk mendapatkan makanan ini kemudian bertemu dengan penawaran pelaku usaha yang dalam hal ini menjual makanan seperti yang dikehendaki konsumen. Pelayanan melalui pesanan menjadi bentuk baru dalam penawaran makanan yang disediakan pelaku usaha. Pelayanan melalui pesanan disini sebenarnya merupakan satu bagian utuh dari penawaran pelaku usaha makanan kepada konsumen. Karena pada hakekatnya penawaran makanan melalui pesanan (delivery order) atau pengiriman makanan menjadi satu hal penting yang dipertimbangkan oleh konsumen untuk membuat kesepakatan. Ketika kesepakatan antara konsumen dan peaku usaha makanan bertemu pada saat itu juga terjadilah hubungan kontraktual (privity of contract). Akibat hukum dari adanya hubungan kontraktual ini adalah terikatnya para pihak pembuat kesepakatan pesanan makanan untuk melakukan prestasi dan kontra prestasi (Pasal 1338 BW-Asas Pacta Sunt Servanda) dan timbulnya prestasi dan kontra prestasi yang dibebankan pada para pembuat kesepakatan. Pada tahap pertama pemenuhan kesepakatan, pelaku usaha harus melakukan prestasi berupa mengirimkan barang (makanan) sesuai dengan permintaan konsumen. Sedangkan bagi konsumen begitu menerima pesanan makanan ia harus melakukan kontra prestasi dengan memberikan pembayaran sesuai dengan kesepakatan di awal.
Permasalahan terjadi manakala prestasi tidak sesuai dengan kesepakatan para pihak. Sebagai contoh, pada pelayanan delivery order ayam goreng, ketika pesanan telah melebihi waktu kesepakatan maka pelaku usaha dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran pada perjanjian dan harus melakukan penggantian kerugian yang diderita oleh konsumen (Pasal 1365 KUH Perdata). Peristiwa hukum di atas ini merupakan hubungan hukum yang melibatkan para pihak dalam hal keperdataan sehingga termasuk dalam lingkup hukum perdata dan seharusnya pula di kenakan sanksi perdata berupa ganti rugi atau pemenuhan prestasi. Pasal 16 UU No.8 Tahun 1999 juga menekankan hal ini dengan larangan berupa:



14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
a. Tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;
b. Tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Di dalam praktek bisa saja terjadi pesanan sudah terlanjur disajikan jadi konsumen terpaksa menikmatinya. Namun apabila pesanan masih belum siap, konsumen dimungkinkan untuk melakukan beberapa tindakan (Yusuf Sofie, 2000:215) seperti:
a) Konsumen tetap membayar sesuai harga yang tercantum atau yang telah disepakati;
b) Konsumen hanya membayar semacam order free (yang belum begitu lazim di Indonesia);
c) Konsumen sama sekali tidak membayar.
Ketiga kemungkinan di atas harus dipilih konsumen dengan melihat proses pembentukan perjanjian dengan pelaku usaha. Di dalam praktek seringkali terjadi beberapa kemungkinan dilakukan oleh pelaku usaha pada saat pembuatan kesepakatan pesanan. Kemungkinan itu antara lain:
a) Pelaku usaha tidak memberikan informasi yang memadai tentang makanan yang ditawarkan dan konsumen juga tidak menanyakan hal itu;
b) Pelaku usaha telah memberikan informasi tentang makanan yang di tawarkan tetapi tidak menjelaskan bentuk standar pelayanan pesanan makanan pada konsumen dan konsumen tidak menanyakan hal itu;
c) Pelaku usaha telah memberikan informasi secara lengkap tentang makanan dan pelayanan yang disediakan dan konsumen dalam hal ini telah mengetahui.
Terhadap kemungkinan-kemungkinan di atas konsumen tetap mendapatkan perlindungan atas hak-haknya. Hanya saja di dalam hal konsumen ingin melakukan gugatan ganti rugi maka pada kemungkinan

15
a) konsumen tidak dapat meminta ganti rugi sebab kedua belah pihak sama-sama tidak mensepakati hal-hal khusus tentang makanan dan pelayanan. Pada kemungkinan b), konsumen hanya memiliki hak untuk meminta ganti rugi ketika makanan tidak sesuai dengan pesanan dan tidak dapat melakukan ganti rugi bila fasilitas pelayanan tidak seperti yang dikehendaki. Sedangkan pada kemungkinan c), konsumen memiliki perlindungan hak yang kuat untuk mendapatkan ganti rugi dari pelaku usaha karena sudah terdapat kesepakatan antara pelaku usaha dengan konsumen. Pertimbangan ini didasarkan atas pemahaman hak dan kewajiban yang seimbang antara pelaku usaha dan konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4-7 Undang-undang Perlindungan Konsumen. Ketentuan hukum ini sebenarnya merupakan perwujudan asas keseimbangan dan keamanan konsumen yang menghendaki adanya peningkatan pemberdayaan konsumen untuk mengerti hak-hak nya dan sisi lain menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen (Pasal 3 huruf c dan e UU No. 8 Tahun 1999).
Pertimbangan Pengenaan Pasal 16 jo. Pasal 62 ayat (1) UU No.8 Tahun 1999
Pemahaman berbeda ternyata diatur dalam pasal 62 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 yang memberikan sanksi pidana pada pelanggar pasal 16 UU No. 8 Tahun 1999. Kebijakan pengenaan sanksi pidana pada pelanggaran Pasal 16 UU No.8 Tahun 1999 sebenarnya sangat berlebihan. Pengenaan sanksi pidana pada hakekatnya merupakan sanksi akhir (ultimum remidium) yang dapat dikenakan pada pelanggar (Didik Endro Purwoleksono, 2006: ). Namun dalam ketentuan Pasal 62 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999, sanksi pidana tidak menjadi sanksi terakhir malah sanksi utama bagi pelanggar Pasal 16 UU No. 8 Tahun 1999. Pengaturan sanksi pidana ini sebenarnya tidak bersesuaian dengan asas keseimbangan dan asas kepastian hukum seperti di maksudkan dalam UU No. 8 Tahun 1999.
Pemberlakuan asas keseimbangan pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen,pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual (penjelasan pasal 2 angka 3 UU No. 8 Tahun 1999). Sedangkan di lain pihak asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum (Penjelasan Pasal 2 angka 5 UU No.8 Tahun 1999).

16
Dengan adanya pengaturan sanksi pidana sebagai sanksi utama menurut pasal 62 UU No.8 Tahun 1999 secara tidak langsung memberikan kedudukan yang kuat pada konsumen untuk menuntut pelaku usaha yang melanggar ketentuan ini. Pengaturan ini sangat rawan menimbulkan penyalahgunaan sanksi pidana untuk menekan atau mengancam pelaku usaha yang dinilai wanprestasi pada pelayanan pesanan.
Pengaturan sanksi pidana dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen seharusnya menjadi sanksi terakhir yang dapat dikenakan pada pelanggar hukum manakala pelanggar sudah terbukti melakukan penipuan atau tindak pidana.
Bentuk Sanksi yang dikenakan pada Pasal 16 UU No. 8 Tahun 1999
Bentuk sanksi yang bisa dikenakan terhadap pelanggar Undang-undang Perlindungan Konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999 hanya ada dua macam yaitu sanksi administratif (Pasal 60) dan sanksi pidana (Pasal 61-62) ditambah hukuman tambahan (pasal 63). Hanya saja pengaturan tentang kewenangan sanksi administratif dalam UU Perlindungan Konsumen hanya bisa diberikan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Hal yang berbeda diberlakukan pada pengaturan sanksi pidana dalam UU No. 8 Tahun 1999 ternyata dapat dikenakan langsung pada pelaku usaha yang melanggar beberapa ketentuan hukum perlindungan konsumen. Kebijakan pengenaan sanksi pada pelanggaran hak konsumen seharusnya didasarkan atas pemahaman hubungan hukum yang akan dikenakan sanksi. Bentuk sanksi seharusnya mengikuti hubungan hukum yang diatur. Secara khusus pada pasal 16 UU No. 8 Tahun 1999 terdapat hubungan hukum perdata berupa perjanjian jual-beli makanan dengan sistem pesanan maka bentuk sanksi yang seharusnya dikenakan adalah sanksi keperdataan berupa ganti rugi, pembatalan perjanjian atau pemenuhan prestasi pada perjanjian.
Pemahaman ini sangat penting mengingat sanksi pidana seringkali digunakan sebagai ‘alat pengancam’ bagi pelanggar hukum suatu ketentuan hukum. Hal ini sangat tidak tepat jika dikaitkan dengan hakekat sanksi pidana sendiri sebagai ultimum remidium.




17
DAFTAR PUSTAKA


























iii

Tidak ada komentar:

Posting Komentar